Klarifikasi Dugaan terhadap Kapolsek Maesa: Fakta, Fitnah, atau Framing Media buzzer?
KRIMSUSPOLRI.COM//Bitung, 16 Juli 2025 — Sebuah pemberitaan bertajuk “Skandal Kapolsek Maesa!” yang dirilis oleh INAnews.co.id pada Selasa, 15 Juli 2025, telah memicu kegaduhan di ruang publik. Berita tersebut menuduh AKP Ferry Padama—Kapolsek Maesa—sebagai dalang dalam praktik bongkar muat pasir ilegal di Kota Bitung, serta menyuap wartawan guna membungkam pemberitaan.
Namun setelah ditelusuri lebih jauh, tuduhan tersebut tidak disertai bukti valid, tidak mengedepankan prinsip keberimbangan, dan patut diduga kuat sebagai upaya penggiringan opini yang sarat kepentingan tertentu.
Dalam berita INAnews, seluruh tuduhan didasarkan pada pernyataan satu “wartawan” anonim, tanpa dokumen pendukung, tanpa rekaman, tanpa foto, dan tanpa menyebutkan identitas media tempatnya bekerja. Bahkan tuduhan distribusi uang koordinasi sebesar Rp200.000 per wartawan hanya dikutip searah, tanpa konfirmasi dari wartawan lain, tanpa bukti transaksi, dan tanpa penjelasan struktur anggarannya.
Jurnalisme profesional tidak dibangun di atas asumsi dan desas-desus. Pemberitaan semestinya berpijak pada verifikasi fakta, bukan emosi.
INAnews juga menampilkan tangkapan percakapan WhatsApp antara Kapolsek Maesa dengan pihak yang tidak disebutkan identitasnya. Kalimat yang ditampilkan:
> “Pak, nanti hari Jumat saja yah, boleh, soalnya tadi sudah habis dibagi sama teman-teman wartawan. Jumat itu uang pulsa… Ok?”
Frasa ini disorot sebagai pengakuan “suap”, padahal tidak menyebut apapun soal tambang, muatan pasir, atau permintaan membungkam media. Penjelasan mengenai “uang pulsa” bisa saja merujuk pada kegiatan kemitraan yang lumrah dilakukan kepolisian dengan media—bentuk kerja sama yang telah berlangsung lama dalam rangka peningkatan komunikasi dan informasi di lapangan.
Menyajikan kutipan tanpa konteks lengkap merupakan praktik cherry-picking, dan bertentangan dengan etika kode etik jurnalistik Pasal 1 dan Pasal 3 (UU Pers No. 40 Tahun 1999).
Anehnya, INAnews mengklaim bahwa aktivitas bongkar muat pasir ilegal akan dilakukan pada Jumat, 18 Juli 2025, padahal berita tersebut ditulis pada Selasa, 15 Juli 2025. Ini berarti tuduhan dilakukan atas kejadian yang bahkan belum berlangsung, namun seolah sudah dipastikan ilegal dan didukung oleh aparat.
Apakah ini bentuk prediksi? Atau framing sistematis?
Hingga berita itu diterbitkan, tidak tercatat adanya konfirmasi langsung dari Kapolsek Ferry Padama, dari Humas Polres Bitung, atau dari Polda Sulawesi Utara sebagai lembaga pengawas. Padahal prinsip cover both sides atau keberimbangan pemberitaan adalah pilar dasar dalam praktik jurnalistik yang kredibel.
Program kemitraan media yang disebut dalam pemberitaan INAnews sebagai “modus suap”, sejatinya merupakan inisiatif lokal Polsek Maesa yang telah berjalan sejak awal tahun untuk mempererat sinergi informasi antara aparat dan wartawan lokal, khususnya dalam penanganan isu-isu sosial, kriminalitas, dan tanggap bencana.
Banyak Polsek di Indonesia memiliki program serupa. Menerjemahkannya secara sembrono sebagai “upaya membungkam media” adalah tindakan yang mencoreng reputasi wartawan dan melecehkan independensi profesi jurnalistik itu sendiri.
Merespons tuduhan tersebut, sumber internal Polres Bitung menyatakan bahwa langkah hukum tengah disiapkan untuk melaporkan INAnews ke Dewan Pers dan menempuh jalur somasi apabila tidak dilakukan koreksi dan klarifikasi terbuka dalam waktu 3x24 jam.
Kritik terhadap institusi adalah bagian dari demokrasi. Tapi kritik tanpa data, tuduhan tanpa bukti, dan framing emosional tanpa logika adalah bentuk kemunduran dunia pers. Dalam dunia di mana informasi bisa membunuh karakter seseorang, media dituntut untuk lebih berhati-hati dan bertanggung jawab.
Jika aparat salah, hukum yang harus bertindak. Tapi jika media keliru, siapa yang akan mengoreksi mereka?
Dony manein