24 C
en

Dossier Mafia Tanah Bitung: Jejak Oknum Aparat, BPN, dan Elit Politik di Balik Kriminalisasi Marta Wulur

 


KRIMSUSPOLRI.COM|| BITUNG Sidang pidana Marta Wulur di Pengadilan Negeri Bitung, Senin tak lagi sekadar perkara biasa. Ia menjelma menjadi panggung besar pembusukan hukum, menelanjangi kolusi aparat, pejabat BPN, hingga bayang-bayang politik yang diduga mengatur permainan kotor di balik kasus tanah adat Aertembaga.

Kuasa hukum Marta, Herling Walangitang, S.H., M.H., membuka tabir bahwa perkara ini bukan sekadar salah pasal, melainkan rekayasa terstruktur yang disusun untuk melindungi korporasi besar dan membungkam ahli waris sah.15/09/2025

1923 – Tanah Leluhur Tercatat Resmi

Tanah adat keluarga Wulur di Kelurahan Aertembaga Naimundung sudah tercatat dalam dokumen otentik sejak zaman kolonial. Statusnya jelas: hak adat turun-temurun.

2024 – Sertifikat Ganda BPN

Tiba-tiba, Kepala Kantor BPN Bitung menerbitkan SHGB 0113 dan 0114 atas nama PT Pathemang. Dugaan kuat: ada pemalsuan data fisik dan yuridis.

2025 – Laporan Diputarbalik

Laporan keluarga Wulur soal pemalsuan SHGB justru berbalik arah. Sat Reskrim Polres Bitung melimpahkan berkas penuh kejanggalan ke Kejari Bitung. Jaksa Penuntut Umum (JPU) lalu memakai berkas cacat itu untuk mendakwa Marta dengan Pasal 167 KUHP.

Sidang – Fakta Dibungkam

Di persidangan, saksi karyawan PT Pathemang Dock Yard malah mengaku bahwa batu yang dipermasalahkan dimasukkan ke pekarangan oleh pihak perusahaan sendiri, bukan Marta. Namun JPU tetap ngotot menjeratnya.

Diduga “mengawal” berkas rekayasa agar mulus ke meja jaksa. Ada indikasi permainan pasal untuk memutarbalikkan fakta.

Pejabat BPN Bitung

Tangan mereka yang menandatangani SHGB bermasalah. Dugaan kuat: mereka jadi alat legalisasi penyerobotan tanah adat.

Bayang-Bayang Elit Politik Lokal

Bisik-bisik publik menyebut adanya keterlibatan figur politik berpengaruh yang menjadi beking korporasi. Mereka diduga memastikan proses hukum diarahkan untuk menghantam ahli waris, bukan menjerat mafia tanah.

Ambil alih lahan adat lewat sertifikat bermasalah.

Gunakan aparat untuk membungkam laporan.

Putar balik berkas hingga korban dikriminalisasi.

Bekingi dengan kekuatan politik agar proses hukum terkunci.

Herling Walangitang menilai, jika majelis hakim tetap memakai berkas cacat itu, maka hakim ikut serta dalam tindak pidana pemalsuan sebagaimana Pasal 55 KUHP. “Ini bukan lagi perkara tanah, ini sudah jadi perkara negara melawan rakyatnya sendiri,” tegasnya.

Kasus ini kini sudah sampai ke meja Wakil Presiden RI, Menteri ATR/BPN, Irwasum Polri, Komnas HAM, Komisi Yudisial, hingga Dewan HAM PBB.

Tanah adat Aertembaga yang mestinya jadi warisan leluhur, kini diperlakukan bak jarahan kolonial modern. Skandal Marta Wulur adalah dossier hitam tentang bagaimana hukum di Bitung bisa dibeli, dipelintir, dan dijadikan senjata untuk menindas rakyat kecil.


(Saril M)

Older Posts
Newer Posts