Editorial Menghantam: Rp 352 Juta Dana Desa Atep Oki Raib — Kepala Desa Bungkam, Warga Jadi Korban!
KRIMSUSPOLRI.COM||~ LEMBEAN TIMUR, MINAHASA — Uang rakyat di Desa Atep Oki tahun 2024 bukan main besar: Rp 772.196.000. Dana segar ini semestinya menjadi nadi pembangunan, penopang jalan, air bersih, kesehatan, hingga kesejahteraan warga. Namun, apa yang terjadi? Rincian belanja hanya menunjukkan Rp 419.708.100. Sisanya — Rp 352.487.900 — raib tak berjejak.
Mari kita buka mata: bagaimana mungkin setengah miliar lebih uang desa bisa melayang tanpa laporan yang jelas?
Ada pos informasi publik cuma Rp 300 ribu — nominal receh yang lebih mirip alibi ketimbang program serius.
Ada pos “keadaan mendesak” Rp 158,4 juta yang misterius: untuk apa? mendesak siapa? dan siapa yang menentukan?
Ada anggaran berulang-ulang: jalan dicatat dua kali, air bersih dua kali, posyandu enam kali. Apakah ini pembangunan nyata, atau sekadar trik menggandakan angka di atas kertas?
Rakyat tidak butuh daftar angka berlapis-lapis yang membingungkan. Rakyat butuh bukti: jalan dibangun, air mengalir, posyandu berjalan.
Saat media mencoba mengonfirmasi, Kepala Desa Jeril Lompoliu alias Jeril Lompoliuw justru bersembunyi di balik layar telepon: diam, bungkam, tak menjawab. Sab 27/09/2025 Pejabat publik yang takut bicara hanyalah cermin dari nurani yang kotor.
Sementara itu, warga berteriak:
“Dana desa hanya memperkaya diri Kepala Desa!”
Tokoh masyarakat menegaskan:
“Sekretaris, bendahara, semua orang dekatnya sendiri. Tak ada transparansi. Tak ada pengawasan. Semua dikuasai satu tangan.”
Bukankah ini yang disebut tirani anggaran di level desa?
Herling Walangitang, SH., MH., pakar hukum, menghantam telak:
“Membungkam informasi publik adalah pelanggaran telanjang UU 14/2008. Transparansi itu kewajiban, bukan kemurahan hati pejabat. PP 43/2018 jelas: masyarakat berhak mengawasi. Jika pejabat main kotor, rakyat wajib melawan!”
Kalimat ini bukan sekadar teori hukum. Ini tamparan keras bagi pemerintah desa yang menganggap rakyat bisa dibodohi dengan angka-angka.
Skandal Atep Oki bukan hanya soal selisih Rp 352 juta. Skandal ini soal martabat rakyat yang diinjak-injak. Uang desa adalah darah kehidupan masyarakat, bukan dompet pribadi penguasa desa.
Audit forensik harus dilakukan. Aparat pengawas wajib turun tangan. Jika tidak, kasus ini akan menjadi preseden busuk: bahwa di desa-desa, uang rakyat bisa hilang begitu saja tanpa ada yang menggugat.
Apakah Dana Desa Atep Oki benar-benar mengalir untuk pembangunan, atau hanyalah bancakan sekelompok orang serakah?
Apakah pejabat desa boleh terus berlindung di balik bungkamnya telepon, sementara rakyat tercekik?
Rakyat sudah muak. Transparansi bukan pilihan, tapi kewajiban. Uang Rp 772 juta itu milik rakyat. Dan rakyat berhak tahu ke mana perginya setiap rupiah!
(Ril Moningka)