Bitung Gempar! Sekot Harus Bertanggung Jawab atas Skandal Lahan Rp 2 Miliar.
KRIMSUSPOLRI.COM//BITUNG — Skandal pembebasan lahan senilai Rp 2 miliar di Kelurahan Sagerat, Kecamatan Matuari, Kota Bitung, kini menyeret nama Sekretaris Kota (Sekot) Bitung Rudy Theno, setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mengungkap pelanggaran fatal dalam proses transaksi oleh Pemkot Bitung pada tahun anggaran 2024.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Perwakilan Sulawesi Utara, disebutkan bahwa pembayaran dilakukan tanpa appraisal independen dan tanpa sertifikat asli dari objek lahan, karena masih dijaminkan di bank. Kondisi ini menjadikan transaksi tersebut cacat hukum dan berisiko menimbulkan kerugian keuangan negara.
Ironisnya, hingga saat ini belum ada sanksi terhadap pejabat teknis yang terlibat, termasuk Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Publik pun mulai mempertanyakan posisi Sekot sebagai koordinator pengawasan internal Pemkot.
“Apa arti jabatan Sekot jika pemborosan uang negara sebesar Rp 2 miliar bisa terjadi tanpa intervensinya? Apakah pengawasan internalnya lemah, atau memang disengaja?” tanya redaksi PRONews5.com dalam konfirmasi tertulis melalui pesan WhatsApp kepada Rudy Theno.
Namun hingga berita ini ditayangkan, Rudy Theno enggan menjawab secara substansial. Saat dikonfirmasi Selasa (29/7/2025) siang, ia hanya menjawab singkat:
"Saya tidak ada di kantor lagi, saya sudah di Pemprov Sulut. Hubungi saja Kadis PUPR, dia itu Pengguna Anggarannya."
Pernyataan tersebut menuai kritik karena dinilai menghindar dari tanggung jawab moral dan administratif sebagai Sekot yang masih aktif saat transaksi dilakukan.
Pengamat hukum dan kebijakan publik, Berty Alan Lumempouw, SH, menegaskan bahwa transaksi tanpa appraisal dan tanpa sertifikat asli jelas melanggar prinsip-prinsip dasar pengadaan aset negara.
“Kalau proyek ini disebut mendesak, apakah urgensi bisa dijadikan dalih untuk melanggar hukum?” tanya Lumenpouw, merujuk pada Putusan MA No. 42K/TIP/2019 yang menegaskan bahwa alasan urgensi tidak dapat menghapus unsur pidana.
Menurutnya, pelanggaran terhadap Pasal 2 dan 3 UU Tipikor sangat mungkin terpenuhi karena terjadi pengabaian prosedur yang menyebabkan potensi kerugian keuangan negara.
Jika aset masih dijaminkan dan sewaktu-waktu disita bank, maka dana Rp 2 miliar yang telah dibayarkan hilang tanpa aset yang sah secara hukum.
Tak hanya Pemkot, pihak bank yang memegang sertifikat juga berpotensi turut disalahkan, karena tidak memberikan pemberitahuan resmi mengenai status agunan saat transaksi hendak dilakukan.
“Bank wajib menjaga transparansi status agunan, apalagi jika diketahui akan diperjualbelikan,” tegas Lumempouw, mengacu pada UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Ia juga menyinggung potensi indikasi gratifikasi dalam transaksi ini, jika ditemukan aliran dana atau keuntungan pribadi kepada pejabat yang terlibat. Hal ini bisa memperkuat penerapan Pasal 12B UU Tipikor.
Lumempouw mendesak agar BPK RI segera menyerahkan temuan ini ke Inspektorat Sulut dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk audit investigatif dan penyelidikan lebih lanjut.
“Jika Sekot tahu dan membiarkan, ini masuk kategori pembiaran aktif. Jika tidak tahu, berarti pengawasan internal Pemkot sangat lemah. Keduanya patut dipertanyakan,” tegasnya.
Ia juga mendorong Pemkot agar membatalkan transaksi dan menuntut pengembalian dana dari penerima, jika terbukti terjadi pengadaan aset yang tidak sah.
“Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden buruk dan membuka peluang kejahatan terulang dengan modus serupa,” pungkas Lumempouw.
Team PWI Kota Bitung .